MELANJUTKAN JEJAK KEGUNDAHAN TIGAPAGI LEWAT ‘SEMBOJAN’
Garpu dan pisau berbahan emas murni, berdenting ramai. Uap dan aroma asam anggur, merebak ke sel uruh ruangan berkerai beludru. Nyanyian suka-‐cita pada pesta dan jamuan makan malam yang dihadiri oleh The Royal Society pada era 1660-‐an, menjadi simbol atas perayaan kemajuan sains modern. Di sinil ah awal benda-‐benda inovatif dan teknologi hasil penemuan dari eksperimen berbasis empiris dipertunj ukkan. Perayaan ini menuai buaian dan pujaan dengan caranya yang begitu aristokratis. Kaum-‐kaum eks perimental kelas atas yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu ilmu pengetahuan, seakan ‘memagari’ sebuah peran penting pada tatanan masyarakat.
Lagi-‐lagi terlintas kekhawatiran Marx dalam renungannya di siang bolong, bahwa hal-‐hal saintifik ad alah produk kaum bourjouis yang susah dicerna oleh kaum proletariat. Proses eksperimen telah di-‐coup-‐ d’etat oleh sains yang hanya bisa dikulik oleh kaum ‘berada’. Lalu bagaimana hak eksperimental dalam s eni, sahabat karibnya sendiri? Istilah ‘adikarya’ dibaptis sebagai wujud ketuk palu untuk mengadili hal it u.
Melirik sedikit apa yang tertera dalam pemikiran realisme sosialis, antara karya seni dan kenyataan sebenarnya memiliki hubungan yang dialektis. Dari satu pihak, kenyataan tercermin dalam karya seni, se hingga karya seni dianggap dapat menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-‐hubungan k ausal, khususnya yang terdapat di dalam masyarakat.
Rupanya hal ini tak lekang ingin kelompok musik Tigapagi coba terus luruskan. Dalam hal ini, merek a hampir tidak sampai hati membiarkan karya seni, khususnya musik, lantas diklaim sebagai bentuk tida k sempurna dari ilmu pengetahuan yang fungsinya terhenti pada sebatas hiburan semata tanpa menggu bris sifat ke-‐adikaryaan-‐nya. Hal tersebut kemudian makin disadari oleh mereka melalui gejala-‐gejala per mintaan pasar yang dewasa ini kian mengalami stagnansi.
Sejak keluncuran album pertama, Roekmana’s Repertoire, kematangan dan keseriusan trio ini dala m menggarap materi memang patut diapresiasi. Pembenihan proses eksperimental mulai dilakukan, ter bukti dari kepiawaian mereka mengasosiasikan pola-‐pola fraktal dalam rangkaian model permainan gitar pentatonis khas Pasundan ke dalam ranah yang lebih kontemporer. Adapun keproaktifan petikan gitar y ang cenderung impulsif, dapat setidaknya melindungi para pendengar dari gagasan-‐gagasan lagu yang se benarnya pilu dan bernuansa kelam. Namun bukan perkara mudah ketika upaya eksperimen ini harus di lanjutkan demi mengutarakan lebih dari sekedar nuansa dan gagasan, namun juga kenyataan. Pasca gen ap dua tahun berhasil ‘mempermainkan’ mimesis publik melalui hikayat sang Roekmana, lantas seperti tidak kapok telah menjebak ego masal ke dalam lanskap merahnya dan bermukim di sana, kali ini Tigapa gi tak sama sekali beritikad menyelamatkan kita dari marabahaya tersebut.
Melalui sebuah Entitas Pendek (EP) bertajuk ‘Sembojan’, Tigapagi malah semakin nyata dalam men gkritisi keadaan dengan menanamkan proses eksperimen garapan yang jauh lebih empiris demi keberlan jutan faedah karya. Secara garis besar EP bertajuk ‘Sembojan’ ini merepresentasikan isu fundamental ke masyarakatan yakni kekuatan hidup bersama. Dalam durasi 10 menit 1 detik, pendengar jangan sama se kali berharap akan ditimang-‐timang melalui proporsi-‐proporsi syahdu serta kalimat-‐kalimat yang hanya menjanjikan jagat keremangan. Untuk menghindari gagalnya pemaknaan dan ketersampaian maksud, ki an terlihat kegamblangan mereka dalam meramu kait-‐demi-‐kait liriknya dengan gaya bahasa yang lebih realis. Adapun formulasi tiga buah gitar akustik, vokal dan trio alat gesek yang semakin matang ditekuni oleh Eko Sakti, Prima Dian, Sigit Pramudita, dibantu oleh, Muhammad Rizki Nurhuda, Achmad Kurnia, da n Aji Bhakti Nugraha, menuju penjelajahan harmoni yang lebih dalam pasca Roekmana’s Repertoire. Sec ara teknis materi EP ini ‘dibidani’ oleh Tesla Manaf dalam proses kelahirannya, serta ‘dibajui’ secara vis ual oleh seorang komikus berbakat, Evans Poton. Masih mengusung konsep ketersambungan antar lagu, Entitas Pendek ini terbagi ke dalam tiga sub-‐bagian lagu (step/movement).
Pada menit awal (00:00) sampai menit ke tiga lewat dua puluh detik (03:20), pendengar akan dibaw a langsung tenggelam dalam gubahan instrumental yang profan. Dalam Sembojan Bagian 1 ini, perkawin an gitar dan sayat-‐sayat strings section sukses menjadi mukadimah untuk merayakan ego pendengar yan g mulai masuk ke dalam ruang tegangan antara penghayatan dan pemikiran.
Pada menit berikutnya sampai menit ke enam lewat dua puluh tiga detik (06:23), vokal Sigit Pramu dita mulai berkumandang melantunkan Sembojan Bagian 2. Terdengar sangat jelas syair demi syairnya mencolok khas kesusastraan angkatan ’45 yang sarat dengan unsur-‐unsur pembelaan kaum. Liriknya yan g begitu eskapis kurang lebih berhasil menghantarkan kita pada identifikasi-‐identifikasi yang sebagian be sar isunya adalah kemanusiaan.
Pada rentang menit selanjutnya sampai pada menit terakhir (10:01), nuansa sukacita namun kela m makin tajam tercipta. Dalam keseluruhan rangkaian lagu dalam EP ini, Sembojan Bagian 3 berperan da lam mempertegas maksud dan tujuan dari gagasan utama. Alur semangat serta lirik-‐lirik yang tak lepas d ari upaya penggalangan kekuatan, kebersatuan dan kebersamaan yang patriotik juga semakin kental pad a bagian ini. Upaya teliti mendengar serta penyimakan makna yang lebih dalam sangat dibutuhkan dala m melahap habis fragmen-‐demi-‐fragmennya.
Dengan dilepaskannya Entitas Pendek (EP) bertajuk ‘Sembojan’ ini, diharapkan dapat mulai tumbu h pemahaman yang lebih responsif terhadap musik sebagai sarana penyambung lidah rakyat lebih dari s ekedar konsep hiburan saja. Kebersikukuhan Tigapagi yang sama sekali jauh dari maksud jumawa, bisa ja di sebuah kultur-‐kritik demi berkembangnya daya apresiasi dan rasionalisasi terhadap musik dan karya s eni lainnya. Seperti yang dapat dinukil dari Cala Ibi, “Jika semua adalah metafora, bagaimana dengan y ang nyata, yang tengah kau rasa?” (Cala Ibi, 169), sehingga janganlah sampai si ‘Sembojan’ ini hanya se kedar menjadi teriakan cita-‐cita muluk tanpa membangkitkan kesadaran pendengar (masyarakat) akan t anggung jawabnya sebagai manusia untuk keadilan sosial dan keseimbangan tatanan. Akhir kata namun belum akhir cerita, semoga EP ini dapat senantiasa menjadi hymne yang dapat menciptakan gagasan da n makna, bukan untuk sekedar menampilkannya, melainkan untuk menangguhkannya. Karena rasa haus itu nyata, maka haus itu ingin minum. Haus itu bukan dahaga yang merindukan segara
keren banget
Mantaapp. Thanks for sharing
Mantaapp.. Thanks for sharing