Oleh: Fatya Alesi Ahmad Farizi

Entah kalimat pembuka apa yang sekiranya pantas untuk tulisan ini. Maklum, sudah satu tahun lebih tidak membuat tulisan perihal musik dan tetek-bengeknya. Bahkan ide membuat review semacam ini datang bukan dari diri sendiri, tapi dari todongan seorang senior (di radio kampus dulu) saat berjalan di pagi hari dari parkiran motor menuju ruang kantor. “Ya, bikin review best of 2017 yuk?” Begitulah kira-kira kalimat pembukanya. Jujur, saat itu gue cuma baca chat-nya. Bukan karena males nulis, tapi males untuk berpikir di luar jalur kontemplasi gue di pagi hari. Bagi gue, pagi itu waktunya kontemplasi, memikirkan ini-itu kehidupan pribadi yang entah semakin baik atau justru nyungsep ga karu-karuan, dan di satu sisi juga sebagai cara untuk menjauhkan diri dari beragam drama kehidupan yang kebanyakan ga pentingnya.

 

Maju sedikit ke depan, ketika otak sudah selaras dengan lingkungan sekitar, akhirnya gue balaslah chat dari sang senior. Dengan menganut prinsip “sekarang ya sekarang, besok ya besok bos!” (mengingat banyaknya kerjaan di kantor) gue iyakan ajakannya. Anehnya, bukan kerjaan kantor yang jadi rintangan saat proses penulisan, tapi justru kebingungan diri gue sendiri untuk menentukan apa yang hendak ditulis. Coba aja bayangin, di dalam tahun yang sama bertaburan hal-hal gila semacam album baru dari Slowdive, Father John Misty yang lagi-lagi karyanya ga bisa ditebak, menggeliatnya scene hip-hop lokal, sampai untuk pertama kalinya gue bisa ga berkata kasar ketika mendengar nama katro semacam Playboi Carti akibat dia ikut bergumul di lagu barunya Lana Del Rey (beberapa memang kurang relevan dengan konteks best album sih, tapi peduli setan lah). Dari segunung hal-hal semacam itu gue lakukanlah kegiatan sortir-menyortir, hingga akhirnya pilihan mengerucut ke dua album yang sebenarnya ga sering-sering banget gue dengerin sepanjang tahun 2017 (tahun ini gue lebih sering dengerin lagu-lagu lama ciptaan anak-anak Menteng periode 1970-1980an, kalau ga lagu-lagu hip-hop dari scene lokal yang akhir-akhir ini semakin ga kehitung jumlahnya), yaitu antara I See You dari The xx atau Nightmare Logic dari Power Trip. Namun, setelah melewati sedikit pergulatan batin dan rasa, secara kukuh nan mantap gue katakan kalau Nightmare Logic adalah album terbaik di tahun 2017. Kenapa? Ya karena ini barang yang sangat sangat sangat bagus (bukan salah nulis loh ya). Ketika gue udah lumayan capek dengerin musik keras dan kalau dipaksain sekalipun palingan cuma sanggup untuk dengerin Fugazi kalau ga Kelelawar Malam, Nightmare Logic menghasut gue untuk segera bertobat. Gimana enggak, dalam waktu kurang dari satu jam telinga lo dibombardir sama musik yang padat dan memberikan porsi yang layak untuk sebuah impresi old school.

 

Bagi gue cara menilai musik keras yang bagus tidaklah berbeda dengan cara menilai musik hip-hop yang bagus. Cukup sandingkan karya yang bersangkutan dengan berbagai cetak biru yang dirilis pada kurun waktu 1970 hingga 1995. Ingat, cukup “disandingkan”, bukan dicocokkan seluruhnya. Mengadopsi hal-hal tua yang baik, bukan berarti harus menjadi purba. Inovasi harus tetap terjaga, walaupun memang terdapat beberapa hal yang seyogyanya tidak diutak-utik lagi. Di sini lah gue melihat Power Trip bermain di dalam Nightmare Logic. Tidak usang dan membosankan, tetapi masih bisa terdengar seperti karya-karya D.R.I bahkan Cro-Mags. Jika dibanding-bandingkan, mungkin tidak sama seperti perbandingan antara Deafheaven dengan suhu-suhu True Norwegian Black Metal, yang perbedaan nuansa modern-nya sangat ketara sekali. Dengan tatanan yang baik dan “peletakkan” nuansa lama secara pantas, album ini menjadi sangat nyaman untuk didengarkan oleh mereka-mereka yang gandrung musik keras dan tentunya lintas generasi.

 

Oke, jadi secara musikalitas album ini bisa dibilang sangat bagus, tapi gimana dengan lirik-lirik lagunya? Dengan mengusung tema anti pemerintahan yang konservatif, fasis serta imperialis, bisa dibilang lirik-lirik lagu pada album ini cukup mumpuni, tapi ga sampai “WAH” ya kalau dalam konteks lagu protes. Singkatnya, liriknya menggambarkan sisi suram peradaban negara-negara barat saat ini yang diekspos ke permukaan sama media. Kalau soal bagus-bagusan sama lirik lagu yang ada di album I See You, gue juga masih megang Nightmare Logic. Buat gue, untuk dunia yang semakin ga jelas kaya hari ini, lirik lagu dengan tema kebebasan serta keberanian anak muda untuk ngungkapin jati diri atau ekspresi (seperti yang ada di album I See You) udah cukup basi lah. Sekarang yang kita butuhin adalah peningkatan kesadaran akan betapa ga pentingnya keberadaan pemerintah dan hal-hal zalim apa yang selama ini mereka telah dan sedang perbuat kepada kita.

 

Cukup lah ya ulasannya. Toh walaupun gue nulis panjang-panjang kaya gini pasti entar juga ada manusia yang nyela dan ngebacot kalau penilaian atas musik yang bagus itu subjektif. Terserah aja bebas, itu hak setiap orang. Namun satu hal yang perlu dicamkan adalah mungkin ulasan ini memang nilainya ancur-ancuran di mata orang lain (dan mungkin juga di mata kalian), tapi musik yang gue rate sebagai bagus, pasti emang bagus, dan itu mutlak. Kenapa? Karena gue miskin tapi sombong.

 

Salam.