~Hey, Macklemore, can we go thrift shopping?

 

Gen Muda ada yang merasa familiar sama kalimat di atas? Yup, itu adalah lirik lagu dari Macklemore, penyanyi rap asal Amerika yang berjudul “thrift shop”. Hayo ngaku siapa yang pernah thrifting shopping juga?. Akhir-akhir ini pasti banyak banget nih diantara Gen Muda yang mulai berburu baju bekas. Selain karena harganya yang pasti jauh lebih murah, kualitasnya juga gak kalah-kalah amat dibandingkan baju yang yang dijual di mall-mall. Apalagi dengan membeli baju bekas berarti kita turut andil dalam menjaga lingkungan. Hah kok bisa? Iya, karena dengan memakai baju bekas berarti kita ikut mengurangi sampah pakaian industri fast-fashion dan menjalankan model yang lebih sustainable yakni fesyen sirkular atau melingkar. Siapa yang gak tertarik coba kalau bisa membeli barang murah sekaligus menjaga lingkungan. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Eitss, tapi gimana sih budaya thrifting ini bisa naik ke permukaan? Nah, selanjutnya kita akan membahas lini masa atau garis waktu budaya thrifting ini.

 

Revolusi Industri dan Produksi Massal (1760 – 1840)

Revolusi industri pada abad ke-19 mengenalkan mass-production of clothing yang merubah cara pandang masyarakat saat itu tentang dunia fashion. Pada masa itu pakaian sangat murah sehingga masyarakat memiliki pemikiran bahwa pakaian adalah barang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini mengarahkan masyarakat menjadi sangat konsumtif dan barang-barang yang dibuang tersebut menjadi menumpuk. Biasanya barang bekas ini digunakan oleh para imigran.

Depresi Besar dan Bangkitnya Toko Barang Bekas (1920-an)

Saat Great Depression, krisis besar-besaran terjadi di Amerika, banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, dan jatuhnya bursa saham New York menjadi “gong”-nya pada saat itu. Masyarakat saat itu bahkan tidak memiliki kemampuan untuk membeli pakaian baru, sehingga mereka memilih alternatif untuk berbelanja di thrift shop. Sedangkan untuk orang yang yang berkecukupan, tempat ini dijadikan untuk donasi. Pada masa ini thrift store dikategorikan sebagai department store. Saat itu Goodwill Industries adalah salah satu thrift shop terbesar di Amerika yang memiliki stok pakaian dan peralatan rumah tangga yang siap untuk menyuplai lebih dari 1000 households. Pergerakan ini berhasil changing the “junk shops” stigma to “a different approach to charity”.

Kurt Cobain: Sebuah Simbolisme (1990-an)

Tahun 90an memang era dimana Grunge sedang jaya-jayanya, dimana Kurt Cobain panutan setiap remaja dimasa itu. Bersama sang istri (Courtney Love), Kurt secara tidak langsung mempromosikan “thrifting style” dengan gayanya yang identik dengan ripped jeans, flanel shirt, dan layering yang cukup banyak. Kadang juga menggunakan t-shirt atau kemeja yang sudah bolong-bolong. Lantas, untuk mencapai style yang diinginkan, untuk mencari barang-barang seperti itu harus pergi ke thrift shop, karena retail saat itu tidak menjual yang seperti itu.

Gelombang Baru Thrifting (2000-an)

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh IBISWorld, saat ini thrift store adalah bagian dari industri besar yang bernilai hingga $14.4 billion. Kenyataan yang terjadi di Indonesia mungkin belum dihitung hingga berapa nilai dari industri ini, namun yang nyata terasa adalah munculnya thrift shop online maupun offline secara sporadis yang meracuni para milenials. Industri ini juga semakin besar di Indonesia ditandai dengan maraknya milenials yang mulai bangga menggunakan barang second.

 

Oke, itu dia sejarah singkat kemunculan budaya thrifting ini. Semoga dengan tau sejarahnya kalian jadi bisa lebih mengenal budaya thrifting ini dan kenapa hal ini bisa menjamur seperti sekarang. Dan yang lebih penting lagi, dengan thrifting shopping dompet dan bumi kita bisa terjaga keselamatannya. Sekian berita kali ini, semoga bermanfaat.

 

 

Content by: Athiya Raihana

Referensi

https://www.ussfeed.com/a-brief-history-of-thrifting/