ANEKA SUGUHAN MANIS DARI TAHUN KAMBING KAYU

Oleh: Fatya Alesi Ahmad Farizi

 

             Pergantian tahun semakin mendekat, dan 2015 tinggal menyisakan beberapa hari lagi. Ratusan hari telah kita lewati dengan diwarnai berbagai kejadian yang rumit sekaligus mengejutkan. Mulai dari berbagai tingkah bodoh si fasis Donald Trump hingga insiden berdarah di Paris. Begitu pula pada dunia musik, 2015 menjadi tahun yang sakral bagi para pencinta musik. Mulai dari peluncuran album oleh dedengkot anti-kristus Slayer hingga comeback manis dari Justin Bieber. Namun demikian, pasti terdapat beberapa karya musik rilisan tahun ini yang memiliki tempat khusus pada diri kita masing-masing. Entah itu lagu-lagu dari Adele jika kamu penikmat musik arus utama atau mungkin lagu-lagu dari Tame Impala dan Panda Bear jika kamu seorang pemuda hipster kaget pergaulan. Berangkat dari hal tersebut, pada artikel ini akan saya sajikan karya-karya musik sepanjang 2015 yang memiliki tempat khusus pada diri saya. Tetapi sebelumnya perlu diingat bahwa lagu-lagu dibawah ini tidaklah lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya dan juga bukan parameter akan lagu-lagu terbaik tahun ini. Oleh karena itu tidak perlu diambil pusing bila kamu tidak sepakat dengan saya, karena pemilihan lagu-lagu dibawah ini tidak semata-mata berdasarkan musikalitas, namun sudah tercampur dengan selera dan egoisme saya. Jadi selamat membaca dan persetan dengan selera kalian.


 

Title: i

Artist: Kendrick Lamar

Album: To Pimp a Butterfly

            Merupakan suatu kesialan terbesar jika kita dilahirkan dan/atau tumbuh di kota yang penuh kekerasan dan kriminalitas seperti Compton. Namun anggapan itu justru diputar 180 derajat oleh beberapa orang, dan salah satunya oleh Kendrick Lamar. Tumbuh di kota yang lebih mirip rimba memaksanya melihat pembunuhan sejak kecil hingga pernah ditodong dengan pistol oleh polisi. Hal-hal seperti itulah yang Lamar coba jawantahkan pada album Good Kid, M.A.A.D City (2012). Dengan jenius rapper yang sering disebut sebagai titisan Tupac Shakur ini menceritakan dengan jujur bagaimana jalannya kehidupan di Compton. Mulai dari perilaku represif aparat kepada penduduk kulit hitam hingga kerasnya kehidupan gangster.

          Seperti tiada akhir, tiga tahun kemudian Lamar kembali menceritakan milieu nya (Compton) pada lagu “i” di album To Pimp a Butterfly. Sebuah lagu pop positif yang memakai sample lagu Isley Brothers untuk iklan Swiffer. Dengan musik yang rumit menjadikan langkah dan motivasi Lamar menjadi terlihat aneh pada lagu ini. Tidak hanya itu, kata-kata semacam “I love myself” pada bagian refrain menjadikan Lamar tergambarkan sebagai orang yang narsistik pada lagu ini. Namun hal tersebut disanggah oleh Lamar, menurutnya “i” merupakan suatu pesan kepada sahabat-sahabatnya di penjara untuk tetap semangat. Terlepas dari itu semua, menurut saya justru lagu ini membuktikan bahwa Kendrick Lamar merupakan seorang rapper jenius atau mungkin yang terbaik pada generasinya. Dengan eksplorasi nada hingga lirik yang penuh metafora menjadikan lagu ini sempurna. Selain itu lagu ini juga menjadi pengingat kepada Lamar bahkan kita untuk tetap semangat dan bangkit dari suatu depresi. Karena masih banyak hal lain yang dapat kita lakukan dan besarnya nilai diri yang kita miliki. Atau bila meminjam perkataan dari Boris Gardiner, “Every Nigger is a Star”.


 

Title: Loud Places

Artist: Jamie xx ft. Romy Madley Croft

Album: In Colour

        Sebuah lagu menggambarkan beragam corak dan rasa, dan pada Loud Places kita dapat merasakan suatu kemegahan sekaligus keagungan yang minimalis. Alunan beatbeat yang lembut dipadu dengan suara khas dari Romy Madley Croft yang bagaikan sebuah bisikan atau lebih mirip suatu soliloquy seolah-olah membuat kita terhisap pada momen kesendirian di dalam sebuah pesta. Sebuah kesendirian yang damai dan bahagia. Hal ini yang membuatnya berbeda dengan lagu-lagu dari The xx, yang cenderung menjerat kita ke alam depresi. Tidak hanya itu saja, dilatari dengan sakralnya suara choir dan handclaps khas lagu-lagu gospel menjadikan lagu ini seolah-olah sebagai pengiring terbaik bagi seorang pendosa saat melakukan pengakuan atas segala kebiadabannya.

           Sebagai pihak yang berperan besar dalam mengantarkan The xx menjadi salah satu band tercanggih saat ini hingga meraih Mercury Music Prize, Jamie Smith layak untuk dikatakan sebagai salah satu pencipta sekaligus produser musik terbaik di genre musik nya. Melalui lagu ini lagi-lagi Jamie membuktikan (entah dia peduli atau tidak) bahwa dirinya seorang jenius yang agung di bidang musik. Suatu karya yang menjadi bentuk luapan ekspresi paling jujur sekaligus indah dari seorang introvert mengenai bagaimana berdansa dan menari mengikuti intuisinya. Membangun irama yang tenang dan anggun hingga menjadi ekstasi paling mujarab bagi diri kita.


 

Title: Coming Home

Artist: Leon Bridges

Album: Coming Home

           Dua tahun lalu disebuah bar yang pekat dengan asap dibilangan Jakarta Selatan, saat semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing (termasuk saya), tiba-tiba sebuah band dari antah-berantah memainkan salah satu nomor terbaik dari Sam Cooke “You Send Me”. Sejenak saya terdiam. Bukan, bukan karena penampilan mereka, namun karena tiba-tiba saya terngiang akan versi asli yang dibawakan oleh Sam Cooke. Lantunan suara indah yang dipadukan dengan irama musik yang tenang menjadikan lagu tersebut bagaikan sebuah serbuan malaikat dari surga.

        Dua tahun kemudian saat saya sedang membuka halaman sebuah situs musik, tampilah pada layar seorang pemuda kulit hitam asal Atlanta yang sangat menarik perhatian saya. Dengan rambut afro dan dandanan yang rapih ala pria tahun 1950-an, membuat saya teringat akan sosok the almighty Sam Cooke. Pria ini berperawakan mirip dengan Sam, hanya saja ia berkumis dan terlihat lebih necis. Tidak hanya tampilannya saja, musik yang dibawakannya pun memiliki kelas tersendiri untuk zamannya. Saat mendengar karyanya yang berjudul Coming Home, tiba-tiba saya merasakan kembali momen dua tahun silam saat di bar. Namun kali ini berbeda, walaupun bayang-bayang Sam Cooke tetap terlintas di dalam alam pikiran saya, akan tetapi penampilan pria yang dikenal sebagai Leon Bridges ini memiliki nilai tersendiri. Dengan lagunya ia memaksa kita untuk kembali lagi dan terjebak di dalam pusaran romantisme masa lalu yang gilang-gemilang. Suatu penampilan serta persembahan yang totalitas hingga membuatnya menjadi anggun dan tidak terlihat labil seperti anak band kemarin sore yang bersolek menggunakan pomade ala rockabilly (entah mereka paham atau tidak) dan memainkan musik psychedelic murahan. Akhir kata, walaupun banyak karya-karya lain pada tahun ini yang mengajak kita untuk ber-nostalgia ke era yang telah lalu, namun hanya sedikit yang genuine dan memuaskan telinga maupun batin saya, salah satunya adalah karya manis dari Tuan Bridges ini.


 

Title: Brought to the Water

Artist: Deafheaven

Album: New Bermuda

             Entah sumpah-serapah macam apa yang akan kalian lontarkan saat melihat seorang vocalist sebuah grup band Black Metal berdandan rapih atau necis lengkap dengan rambut mengkilap yang tersapu pomade. Jujur saja kalau saya akan langsung mengatakan bahwa dia dan rombongan orkesnya nya just a fucking poser yang mengotori skena sakral Black Metal. Tapi tunggu dulu bung, ini Deafheaven! Anggapan semacam itu tidak akan berlaku bagi mereka. Dengan musik yang canggih dan muram seperti pada lagu-lagu mereka di album Sunbather menjadi suatu pembuktian bahwa mereka bukanlah segerombolan pemuda yang membuat malu para nabi agung Black Metal dari tanah Norwegia. Tidak hanya itu, dandanan necis dari George Clarke yang mengenakan pakaian serba hitam serta dipadu dengan raut wajah yang seolah-olah siap untuk membunuh diatas panggung menjadikan ia lebih tepat untuk disebut sebagai seorang pendeta okultisme yang memimpin jemaatnya untuk meluluh-lantahkan singgasana Tuhan, daripada disebut sebagai pemuda hipster yang mengekor fashion terkini.

            Dua tahun setelah album terakhir mereka Sunbather (2013) dirilislah mahakarya berikutnya dengan tajuk New Bermuda. Mengkhususkan pada salah satu lagu mereka yang berjudul Brought to the Water, dapat kita rasakan bahwa mereka tidak main-main pada jalan musik yang mereka tempuh. Bagaikan sebuah orchestra yang megah, mereka menghanyutkan kita pada suatu kemewahan di dalam musik. Kemewahan yang indah namun diselimuti oleh kegelapan dan perasaan mencekam. Dengan menampilkan kesan yang sangat dingin pada lagu ini, Deafheaven menjadikan band-band pengabdi setan seperti Slayer seolah-olah hanyalah sekumpulan remaja yang keranjingan simbol-simbol satanis. Suatu persembahan agung yang sangat emosional sekaligus rapih, bagaikan sebuah agitasi untuk memberontak dan merusak.


 

Title: Depreston

Artist: Courtney Barnett

Album: Sometimes I Sit and Think, and Sometimes I Just Sit

          Jujur, berbeda dengan saat saya hendak menyertakan lagu-lagu sebelumnya ke dalam list, tidak dibutuhkan suatu pemikiran yang panjang dan rumit untuk mencantumkannya. Namun untuk lagu yang satu ini, saya membutuhkan suatu perenungan terlebih dahulu, suatu kontemplasi. Bukan untuk melebih-lebihkan, hanya saja menurut saya, untuk lagu terakhir pada daftar ini haruslah suatu lagu yang merefleksikan tiga perasaan paling dominan saya sepanjang tahun ini, yaitu gelisah, depresi dan muak. Setelah menyortir beberapa lagu dengan tema yang muram, akhirnya pencarian berujung pada dua pilihan yang sulit, yaitu antara karya dari mantan pentolan Odd Future “Earl Sweatshirt” yang berjudul Grief dan karya dari seorang wanita petarung asal Australia “Courtney Barnett” yang berjudul Depreston. Dengan sedikit pergulatan batin akhirnya pilihan jatuh kepada Depreston milik Courtney Barnett. Alasannya cukup sederhana, yaitu “adanya harapan dan jalan keluar”. Memang, baik Earl maupun Courtney keduanya menciptakan karya yang dapat mewakili batin saya, hanya saja Courtney memberikan saya sebuah opsi. Dia tidak merayu dan merangkul saya untuk bersama-sama terjebak di dalam alam depresi, seperti yang dilakukan oleh Earl. Courtney seolah-olah mengajak dan memimpin saya untuk mencari suatu jalan keluar, suatu panduan untuk melepaskan segala belenggu dan lari ke sebuah titik terang. Atau jika meminjam kata-kata dari Courtney, “we should look out further, and I guess it wouldn’t hurt us”.

         Dari segi musikalitas sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa pada lagu ini, namun ada satu hal fundamental yang membuatnya layak untuk diberikan apresiasi lebih, yaitu bernyanyi dengan jujur. Bagaikan suara mendiang John Lennon pada lagu I’m so Tired, yang membuat para pendengarnya yakin bahwa ia lelah atas segala hingar-bingar dan kegilaan dari dunia Rock and Roll, Courtney Barnett bernyanyi dengan meluapkan emosinya atas suatu kegelisahan yang terus membebaninya. Suatu pencarian akan jalan keluar atas kelelahan dan kemuakan yang tidak berujung.